About

Kisah Pengrajin Sampan, Desa Tanjung Baru Berharap kepada Udin

 







Sebahagian besar nelayan Desa Tanjung Baru, Kecamatan Tanah Merah yang merupakan salah satu perkampungan nelayan perairan Indragiri Hilir, Riau, beralih profesi menjadi pengrajin kapal, karena keterpaksaan.

Desa Tanjung Baru, sebagai desa yang berada di daerah perairan, karakteristik desa ini hampir sama dengan desa lain yang ada di Kecamatan Tanah Merah dan beberapa daerah lainnya di Negeri Seribu Jembatan.

Seperti yang diamati akhir pekan lalu, kesamaan desa ini dengan desa perairan lainnya ialah rumah-rumah yang berderet di sepanjang perairan dan berdiri di atas jerambah kayu bakau. Sebagai perkampungan nelayan di desa itu hampir setiap rumah memiliki sampan sebagai alat transportasi keluarga dan pribadi warga.

Salah seorang warga, Lamahudin, yang akrab disapa Pak Udin, adalah satu-satunya pengrajin sampan di Desa Tanjung Baru. Udin menggeluti usaha itu berawal dari keterpaksaan, karena dari 12 orang adik beradik tidak satu pun yang memiliki kepandaian membuat kapal.

“Saya dulunya nelayan, di sini tak ada yang jual sampan. Akhirnya saya inisiatif membuat usaha pengrajin sampan,” tutur Udin seperti dilansir Riau Pos, Selasa (5/4/2011).

Udin sudah menggeluti usaha kerajinan membuat sampan dayung untuk mencari ikan di Sugai Indragiri itu sejak 1987, ketika dia berusia 20-an tahun. Ketika itu, satu sampan masih dijual seharga Rp 35.000, sekarang harga sampan yang diproduksi Udin sudah mencapai Rp 750 ribu sampai Rp 1.300.000 per unit. Sebagian besar dia jual di Desa Tanjung Baru sampai pesanan nelayan dari Kecamatan Enok dan Pengalihan.

“Mulanya beli papan sendiri, waktu itu, harga papan per kepingnya masih Rp 600, jenis Meranti. Akhirnya beli papan sendiri dan membuatnya secara otodidak sampai akhirnya tidak lagi mencari ikan ke laut,” ujar bapak empat orang anak itu,” terangnya.

Dengan keahlian yang dia kuasai, Udin lama kelamaan dikenal sebagai pengrajin sampan. Dan hampir semua sampan dayung di Desa Tanjung Baru merupakan hasil kerajinannya.

Setiap bulan, Udin bisa memproduksi sampan 8-10 unit seorang diri, sehingga dalam sepekan dia mampu merampungkan dua atau tiga unit sampan. Dengan jumlah itu, Udin mengaku bisa bekerja lebih santai dan memiliki waktu untuk bersosialisasi dengan masyarakat desa kelahirannya, seperti menghadiri kendurian dan kegiatan kemasyarakatan lain.

Dari setiap produksi sampan itu, rata-rata Udin bisa mendapatkan keuntungan sekitar 50 persen setelah dikeluarkan modal pembelian kayu dan upah harian. “Alhamdulillah, hasil membuat kapal dapat memenuhi keperluan keluarga, tapi sekarang mulai kesulitan mendapatkan bahan baku. Biasanya, saya beli dari Simpang Gaung dan Junjangan,” keluh Udin.

Uuntuk mendapatkan kayu Selumar, bahan pembuat dayung, tidaklah mudah. Terkadang terpaksa membuat dayung dari bahan kayu sembarangan. Satu hal yang juga membuat usaha kerajinan sampan yang digeluti oleh Udin tetap eksis, karena setiap tahun dia juga melayani pesanan sampan program bantuan dari Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir untuk nelayan di Kecamatan Tanah Merah.

Sebagai contoh, tahun 2009 saja, dia memproduksi 30 sampan dayung, dan 30 unit lagi tahun 2010. Sedangkan 2011 belum ada pesanan, karena APBD baru berjalan.(*)