Petronas, akronim dari Petroliam Nasional Berhad, merupakan perusahaan migas milik negara (BUMN) Malaysia yang berdiri pada tahun 1974. uniknya, banyak turis asing yang mengenal powerhouse ini bukan sebagai perusahaan migas, melainkan berasosiasi dengan Menara Petronas. Menara Petronas adalah bangunan kembar dua di Kuala Lumpur yang pernah menjadi bangunan tertinggi di dunia dan menjadi objek wisata penting di Kuala Lumpur. Nama Petronas juga berasosiasi dengan balap mobil Formula Satu (F1) karena ia menjadi sponsor utama tim Formula Satu Sauber dan menyediakan bahan bakar dan pelumas untuk tim tersebut. Saat ini, Petonas telah sangat menggurita dan memiliki 103 anak perusahaan.
Di Malaysia sendiri, Petronas dapat dikatakan segalanya. Petronas merupakan penyandang dana terbesar dalam pembangunan Putra Jaya, Ibu Kota Baru Malaysia yang ultra modern dan berbasiskan teknologi informasi.
Petronas tidak hanya memberi kontribusi dalam rasa kebanggaan masyarakat Malaysia, melainkan juga dalam konteks ekonomi. Petronas merupakan satu-satunya powerhouse Malaysia yang tercatat di Fortune 500 (ranking 120). Pada tahun 2006, keuntungan Petronas sudah demikian besar, mencapai US$ 15 miliar, atau setara dengan tiga puluh persen pendapatan Pemerintah Malaysia. Langsung maupun tidak langsung, kontribusi ekonomi powerhouse ini mampu mengangkat pendapatan per kapital penduduk Malaysia menjadi US% 6000 pada tahun 2006 (Economist, 10/2007) dengan jumlah pegawai sebesar 33.682 orang.
Sama seperti Saudi Aramco, keberhasilan Petonas ikut mengubah wajah Malaysia juga berasal dari sebuah pergulatan perubahan yang datang dari dalam dirinya sendiri. Ironisnya, inisiatif perubahan dimulai ketika Wakil Perdana Menteri Malaysia – Tun Dr Ismail Al Jaj beserta rombongannya melakukan kunjungan kehormatan selama sekitar satu jam kepada pimpinan Pertamina di Jakarta pada suatu siang di tanggal 11 Maret 1972. Kalau anda kurang merasa yakin, silahkan buka Wikipedia (http://ms.wikipedia.org/wiki/Petronas), dan anda akan menemukan bukti tertulis dari pengakuan petronas sendiri.
Dalam dokumen yang dapat dibaca luas oleh publik itu, disebutkan, penggagas Petonas, Tan Sri Tengku Razaleigh Hamzah “Terpengaruh dengan kejayaan syarikat milik Indonesia, yaitu Pertamina”. Sehingga, saat ditahbiskan pada tanggal 1 Oktober 1974 Petronas memiliki peran yang benar-benar istimewa, yang bukan diambil dari Shell, perusahaan minyak asal Belanda yang sudah membangun kilang di Port Dickson sejak 1962.
Jadi pertemuan yang dilakukan di kantor Pertamina itu menghasilkan dukungan bagi Petronas dalam bentuk tenaga ahli yang akan disediakan oleh Pertamina. Bahkan, hingga saat ini ada cukup banyak engineer asal Indonesia yang bekerja di Petronas dan ditempatkan di mancanegara, baik di Afrika maupun di Eropa. Ironisnya, murid selalu menjadi lebih pintar daripada gurunya sendiri. Mengapa bisa demikian? Jawabannya sangat sederhana. Malaysia mengambil yang baik-baik dari Pertamina dan menutupi “bolong-bolong” yang ada di Pertamina dengan kekuatan original. Apa saja yang diadopsi dan ditambal itu?
Yang diambil mentah-mentah adalah sistem kontrak bagi hasil. Petronas mengadopsi sistem kontrak bagi hasil temuan Pertamina dalam melakukan negosiasi konsesi migas dengan perusahaan minyak asing yang memiliki teknologi. Sebelum Pertamina, sangat sedikit perusahaan migas di Asia (non-Timur Tengah) yang mampu menghasilkan kontribusi ekonomi yang besar bagi negaranya. Dengan sistem ini, praktis Pertronas tidak perlu menarik urat dalam-dalam dan tidak perlu mencari model sendiri.
Lalu apa yang perlu diambil?
Petronas belajar tentang sebab-sebab kejatuhan Pertamina yang diakibatkan oleh skandal politik yang telah merasuk terlalu dalam. Waktu itu, Pertamina, meski besadr dan menggurita, baru saja diterpa badai yang dikenal dengan skandal Ibnu Sutowo. Kontribusi Pertamina memang sangat besar. Konon gedung Binagraha, Convention Hall Senayan, dan banyak fasilitas publik lainnya dibangun dengan biaya pertamina.
Akibatnya suatu ketika pertamina mengalami kondisi yang dapat diibaratkan “besar pasak daripada tiang”. Pertamina mengalami kesulitan likuiditas dan sejak terjadi krisis, segala kebijakan yang dilakukan Pertamina, diambil-alih oleh pemerintah (dalam hal ini Menteri Keuangan). Dengan begitu Pertamina pun berubah peran menjadi kepanjangan tangan pemerintah.
Malaysia sangat memahami masalah ini dan memilih jalur korporasi. Maka, petronas pun didesain sebagai wadah usaha yang otonom yang bebas dari campur tangan negara, bukan wadah pemerintah. Dalam Akta Kemajuan Petroleum yang dimaktubkan pada tanggal 1 Oktober 1974 itu, disebutkan bahwa Petronas diberi hak, kuasa, kebebasan, dan keistimewaan dalam mengendalikan dan memajukan sumber minyak di Malaysia. Petronas didesain dengan campur tangan politik yang sangat minimal. Prisnsip ini dipegang teguh sampai hari ini.
Begitu otonomnya Petronas, sampai-sampai para politisi dibuat begitu geram. Pada tahun 2002 contohnya, seorang Menteri Senior mengeluh pada Sidang Kabinet karena eksekutif Petronas tidak mau mendengarkan “masukannya”. Mendengar hal ini Perdana Menteri Mahathir Mohamad langsung bereaksi dengan mengatakan, “tinggalkan Petronas Sendirian!”. Mahathir mengucapkan itu bukan tanpa alasan. Ia tahu persis bahwa Petronas harus diberi wewenang dan hanya boleh melaporkan masalahnya kepada Perdana Menteri. Ia tidak boleh dipanggil oleh banyak pihak yang bisa mengakibatkan konsentrasi direksinya terpecah belah. Mahathir sadar betul, kuncinya adalah pada pemilihan eksekutif yang tepat, pemberian imbalan dan kepercayaan yang tinggi. Karena Petronas memberi kinerja yang baik, tidak ada alasan bagi Mahathir untuk menuruti kehendak para politisi.
Dengan kijerja yang menonjol, Petronas akhirnya mampu membuktikan bahwa mereka bukan sekadar “jago kandang”. Saat ini, Petronas telah beroperasi di lima puluh sembilan lokasi yang terletak di 323 negara di seluruh dunia. Pada tahun 2005, cadangan migas yang berhasil dikuasai di luar negerinya telah mencapai 5,9 miliar barrel, lebih tinggi daripada cadangan domestik (4,2 miliar barrel).
Di Malaysia sendiri, Petronas dapat dikatakan segalanya. Petronas merupakan penyandang dana terbesar dalam pembangunan Putra Jaya, Ibu Kota Baru Malaysia yang ultra modern dan berbasiskan teknologi informasi.
Petronas tidak hanya memberi kontribusi dalam rasa kebanggaan masyarakat Malaysia, melainkan juga dalam konteks ekonomi. Petronas merupakan satu-satunya powerhouse Malaysia yang tercatat di Fortune 500 (ranking 120). Pada tahun 2006, keuntungan Petronas sudah demikian besar, mencapai US$ 15 miliar, atau setara dengan tiga puluh persen pendapatan Pemerintah Malaysia. Langsung maupun tidak langsung, kontribusi ekonomi powerhouse ini mampu mengangkat pendapatan per kapital penduduk Malaysia menjadi US% 6000 pada tahun 2006 (Economist, 10/2007) dengan jumlah pegawai sebesar 33.682 orang.
Sama seperti Saudi Aramco, keberhasilan Petonas ikut mengubah wajah Malaysia juga berasal dari sebuah pergulatan perubahan yang datang dari dalam dirinya sendiri. Ironisnya, inisiatif perubahan dimulai ketika Wakil Perdana Menteri Malaysia – Tun Dr Ismail Al Jaj beserta rombongannya melakukan kunjungan kehormatan selama sekitar satu jam kepada pimpinan Pertamina di Jakarta pada suatu siang di tanggal 11 Maret 1972. Kalau anda kurang merasa yakin, silahkan buka Wikipedia (http://ms.wikipedia.org/wiki/Petronas), dan anda akan menemukan bukti tertulis dari pengakuan petronas sendiri.
Dalam dokumen yang dapat dibaca luas oleh publik itu, disebutkan, penggagas Petonas, Tan Sri Tengku Razaleigh Hamzah “Terpengaruh dengan kejayaan syarikat milik Indonesia, yaitu Pertamina”. Sehingga, saat ditahbiskan pada tanggal 1 Oktober 1974 Petronas memiliki peran yang benar-benar istimewa, yang bukan diambil dari Shell, perusahaan minyak asal Belanda yang sudah membangun kilang di Port Dickson sejak 1962.
Jadi pertemuan yang dilakukan di kantor Pertamina itu menghasilkan dukungan bagi Petronas dalam bentuk tenaga ahli yang akan disediakan oleh Pertamina. Bahkan, hingga saat ini ada cukup banyak engineer asal Indonesia yang bekerja di Petronas dan ditempatkan di mancanegara, baik di Afrika maupun di Eropa. Ironisnya, murid selalu menjadi lebih pintar daripada gurunya sendiri. Mengapa bisa demikian? Jawabannya sangat sederhana. Malaysia mengambil yang baik-baik dari Pertamina dan menutupi “bolong-bolong” yang ada di Pertamina dengan kekuatan original. Apa saja yang diadopsi dan ditambal itu?
Yang diambil mentah-mentah adalah sistem kontrak bagi hasil. Petronas mengadopsi sistem kontrak bagi hasil temuan Pertamina dalam melakukan negosiasi konsesi migas dengan perusahaan minyak asing yang memiliki teknologi. Sebelum Pertamina, sangat sedikit perusahaan migas di Asia (non-Timur Tengah) yang mampu menghasilkan kontribusi ekonomi yang besar bagi negaranya. Dengan sistem ini, praktis Pertronas tidak perlu menarik urat dalam-dalam dan tidak perlu mencari model sendiri.
Lalu apa yang perlu diambil?
Petronas belajar tentang sebab-sebab kejatuhan Pertamina yang diakibatkan oleh skandal politik yang telah merasuk terlalu dalam. Waktu itu, Pertamina, meski besadr dan menggurita, baru saja diterpa badai yang dikenal dengan skandal Ibnu Sutowo. Kontribusi Pertamina memang sangat besar. Konon gedung Binagraha, Convention Hall Senayan, dan banyak fasilitas publik lainnya dibangun dengan biaya pertamina.
Akibatnya suatu ketika pertamina mengalami kondisi yang dapat diibaratkan “besar pasak daripada tiang”. Pertamina mengalami kesulitan likuiditas dan sejak terjadi krisis, segala kebijakan yang dilakukan Pertamina, diambil-alih oleh pemerintah (dalam hal ini Menteri Keuangan). Dengan begitu Pertamina pun berubah peran menjadi kepanjangan tangan pemerintah.
Malaysia sangat memahami masalah ini dan memilih jalur korporasi. Maka, petronas pun didesain sebagai wadah usaha yang otonom yang bebas dari campur tangan negara, bukan wadah pemerintah. Dalam Akta Kemajuan Petroleum yang dimaktubkan pada tanggal 1 Oktober 1974 itu, disebutkan bahwa Petronas diberi hak, kuasa, kebebasan, dan keistimewaan dalam mengendalikan dan memajukan sumber minyak di Malaysia. Petronas didesain dengan campur tangan politik yang sangat minimal. Prisnsip ini dipegang teguh sampai hari ini.
Begitu otonomnya Petronas, sampai-sampai para politisi dibuat begitu geram. Pada tahun 2002 contohnya, seorang Menteri Senior mengeluh pada Sidang Kabinet karena eksekutif Petronas tidak mau mendengarkan “masukannya”. Mendengar hal ini Perdana Menteri Mahathir Mohamad langsung bereaksi dengan mengatakan, “tinggalkan Petronas Sendirian!”. Mahathir mengucapkan itu bukan tanpa alasan. Ia tahu persis bahwa Petronas harus diberi wewenang dan hanya boleh melaporkan masalahnya kepada Perdana Menteri. Ia tidak boleh dipanggil oleh banyak pihak yang bisa mengakibatkan konsentrasi direksinya terpecah belah. Mahathir sadar betul, kuncinya adalah pada pemilihan eksekutif yang tepat, pemberian imbalan dan kepercayaan yang tinggi. Karena Petronas memberi kinerja yang baik, tidak ada alasan bagi Mahathir untuk menuruti kehendak para politisi.
Dengan kijerja yang menonjol, Petronas akhirnya mampu membuktikan bahwa mereka bukan sekadar “jago kandang”. Saat ini, Petronas telah beroperasi di lima puluh sembilan lokasi yang terletak di 323 negara di seluruh dunia. Pada tahun 2005, cadangan migas yang berhasil dikuasai di luar negerinya telah mencapai 5,9 miliar barrel, lebih tinggi daripada cadangan domestik (4,2 miliar barrel).